Opini _ Istilah IMMisasi memang terasa asing dari pendengaran dan pemahaman kita bila merujuk pada bahasa kita sehari-hari, bahkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pun tidak memiliki cakupan terjemahan dari istilah tersebut. Singkatnya, karena eksklusif pada sirkulasi kepemimpinan di ikatan mahasiswa muhammadiyah maka penulis berinisiatif memakai istilah IMMisasi sebagai cucu dari istilah islamisasi yang dalam konteks kesejarahan islam di Nusantara istilah islamisasi pernah disematkan pada proses konversi budaya dan sosiologi pada saat itu.
Ikatan mahasiswa muhammadiyah (IMM) sebagai organisasi yang bertanggung jawab pada muhammadiyah dan mahasiswa mesti meramu banyak metodologi dalam setiap arah geraknya. Sebagai organisasi kader yang sekarang telah berumur 59 tahun bahkan terhitung sebagai salah satu organisasi yang telah memakan banyak garam perlu meninjau ruang baru dengan membawa misi berkemajuan dan berkelanjutan, untuk itu selalu diperlukan sumberdaya kader dengan jaminan standarisasi mutu baik pada bidang keilmuan maupun keislaman serta pola hubungan masyarakat secara keseluruhan. Setiap kader punya kewajiban untuk mentadabburi situasi dan memenuhi kebutuhan organisasi, meminjam istilah buya syafii dalam analisisnya pada umat islam saat ini “kalau boleh kita berhenti sejenak menambah jumlah orang yang mau berislam, dikepentingan lain kita harus berbondong-bondong memantapkan potensi” demikan nasihat buya, dari sudut literal mungkin untaian nasihat itu menyuruh kita untuk berhenti mengajak orang untuk berislam, namun pada tinjauan metafornya buya menyinggung kita agar berislam dengan mengikutsertakan islam dan muatannya yang merindukan situasi di abad 4 hijriah dengan hikayat yang sematkan “seribu satu malam” dengan segala kemajuan peradaban dan kualitas masyarakatnya. Agaknya cukup elok bila masyarakat IMM belajar dari hal tersebut, sembari memassifkan perkaderan kita juga wajib melajukan training mutu baik pada aspek kecerdasan spiritual maupun intelektual, kita hanya perlu menghidupkan kembali semangat baru sebab acuan geraknya sudah dari dulu dipedomani oleh masyarakat IMM dari masa ke-masa.
TRIPURNA IKATAN
IMM sebagai organisasi yang menjadikan religiusitas-intelektualitas-humanitas sebagai acuan dan pedoman dalam setiap gerakannya memberikan kita jaminan bahwa gerakan IMM tidak hanya bertanggung jawab pada tegaknya tangga teologi (hubungan kepada pencipta) melainkan IMM juga mewakafkan diri sebagai organisasi yang bertanggung jawab pada sejahteranya manusia yang ada disekitarnya. Sebelum berjalan menuju pemantapan tersebut tentu kita harus berangkat dari dalam dengan sumber daya kader dengan kompetensi yang mumpuni baik di bidang keilmuan, keislaman, dan pemanfaatan teknologi sebagai respon atas modernitas.
Lebih khusus pada kabupaten bulukumba sebagai wilayah kerja ikatan mahasiswa muhammadiyah perlu merumuskan metodologi baru dengan memantapkan potensi internal dengan titik fokus pemberdayaan komisariat baik diperguruan tinggi muhammadiyah (PTS) maupun perguruan tinggi negeri (PTN), sebagai ruang cetak generasi pertama, maka perlu ada giat training potensi yang dirutinkan demi kepentingan kaderisasi yang berkompeten seperti menghadirkan pusat kajian dan riset sebagai upaya pengilmuan dengan harapan IMM menjadi organisasi lumbung cendekiawan, terbentuk komunitas kader dengan sorban keulamaan yang tajam dengan tafsiran keislamannya serta menjadi tempat konsolidasi keummatan dan kemanusiaan secara umum.
Istilah “bergerak bersama menjemput era baru” kemudian dimaknai sebagai dinamisasi yang lumrah dalam setiap kepemimpinan dimanapun kita berada, organisasi maupun kontrak sosial lainnya. Penulis menganggap bahwa trilogi dan tri kompetensi dasar IMM memuat mandat untuk setiap kader-kadernya untuk menyempurnakan gerakan nya pada “trilogi ilahi dan sosial” dengan acuan gerak itulah sehingga IMM di cap sebagai organisasi yang punya semangat dakwah praktis yang menggumpal dari genealogi nya sebagai ortom muhammadiyah dan pada setiap kesempatan perkaderan. Penulis selalu melontarkan seminar bahwa IMM sebenarnya adalah saran cendekiawan muda, organisasi dengan segerombolan sorban keulamaan dan senantiasa mendidik diri untuk paham akan kemanusiaan. Itu semua ditarik dari semangat kompetensinya di tiga bidang tersebut.
Selain pemantapan di lini teologi IMM juga harus menertibkan orientasi eksternalnya dengan membiasakan diri bertungkus lumus dalam pergaulan sosial masyarakat, yang dikuatkan dengan kajian sosiologi dan politik sebagai respon atas apatisme kader seraya mengembalikan kesadaran di bidang sosial sebagaimana fungsi didirikannya yang bukan hanya menguatkan hubungan vertikal kepada tuhan, selain dari itu IMM juga memiliki acuan gerak yakni relasi horizontal pada masyarakat. Penulis berupaya memperkenalkan “sosiologi IMM” yang mengharuskan kader-kader IMM melepas diri dari kayu pasung apatisme dengan terus berurusan pada kompetisi dan kerja sama, hubungan organisasi maupun disorganisasi, aktif mengawal tatanan dan perubahan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan interaksi manusia. Semua itu tentu perlu dikuatkan dengan pendidikan politik, ekonomi yang efektif demi terciptanya SDM yang kompeten di bidang tersebut.
Maka pertama kali yang harus dilakukan adalah menata diri dari dalam sehingga segala cita mulia organisasi dapat tercapai, IMM harus menjadi rahim era baru disetiap periodesasinya, dan diperlukan lingkungan yang terus mendidik karakter spritual-intelektual-humanitas sebab suasana organisasi tergantung pada apa yang dilakukan oleh kader-kadernya, maka dari itu mari kita mantapkan kecerdasan spritual dan intelektual dalam kehidupan kita. Mari bergerak bersama dan menjemput era baru.
Gerakan IMMisasi: Bergerak Bersama Menjemput Era Baru
Oleh: Agus Salim