Konawe, exposetimur.com|Dugaan permainan oknum-oknum dalam polemik ganti rugi lahan terdampak genangan bendungan Ameroro semakin mencuat ditengah masyarakat.
Mulai dari penempatan posko tim terpadu yang sebelumnya disepakati berada dikantor camat Uepai dan tiba-tiba pindah ke balai Desa Tamesandi, hingga pernyataan tim pengukur bahwa desa Tawarotebota tidak ada dalam peta yang sangat kontradiktif dengan kenyataan di lapangan. Selain itu ada dugaan Surat Keterangan Lahan Garapan (SKLG) yang fiktif.
Hal yang di nilai kontradiktif adalah, adanya pernyataan tim pengukur BWS yang ditemui di posko terpadu pada malam Selasa oleh salah satu pemilik lahan, dimana tim pengukur mengatakan bahwa wilayah Desa Tawarotebota tidak ada dalam peta dan meminta warga untuk membawa KTP dan keterangan lahan ke posko pada esok harinya. Saat pemilik lahan berkunjung mengantar dokumen yang di maksud, posko tim terpadu tampak kosong dan tak seorangpun berada di tempat, lalu pemilik lahan bersama tim pengacaranya menuju titik lokasi kemudian bertemu tim terpadu yang terdiri dari tim dari PUPR termasuk tim pengukur yang meminta KTP sebelumnya juga tampak ikut bersama tim gabungan tersebut.
Saat dipertanyakan kepada tim pengukur, ia mengaku memang tidak ada dalam peta, kemudian di pertanyakan, jika memang tidak ada dalam peta kenapa ada plan spanduk dan pita di lahan lahan warga desa Tawarotebota, ia kemudian terlihat kalang kabut menjawab dan mengaku tidak mengerti yang semalam dipertanyakan oleh pemilik lahan.
Saat terjadi pembicaraan, tim PUPR mengaku pihaknya mendapat data dan laporan bahwa hanya desa Tamesandi yang masuk wilayah yang akan di ukur dan tidak ada desa lain sehingga adanya pertanyaan masyarakat soal desa Tawarotebota, ia tidak mengetahui hal tersebut dan ia berharap untuk di maklumi karena timnya terbatas untuk luasan lebih 200 Ha katanya, Selasa (03/10/2023).
Dari pertanyaan tersebut semakin memunculkan dugaan adanya oknum-oknum bermain dalam kasus ganti rugi lahan warga desa Tawarotebota ini, kenapa tidak ?, karena informasi yang berhasil di himpun, lahan H. Muh. Syarif yang berada di wilayah Desa Tawarotebota sehari sebelumnya sudah di lakukan pengukuran, dan belakangan diketahui bahwa oknum pengukur yang mengatakan desa Tawarotebota tidak ada dalam peta di duga merupakan ponakan dari H. Muh Syarif.
Selajutnya keterangan dari tim PUPR dilokasi, bahwa hanya mendapat laporan data satu desa ( desa Tamesandi ) mengkonfirmasi asumsi bahwa Kepala Desa Tawarotebota di duga tidak pernah melakukan pelaporan terkait lahan lahan warganya berdasarkan SK Gubernur yang sebelumnya Lianis selaku kepala desa tegas mengakui dalam video yang direkam media, bahwa dirinya mengawal kasus ganti rugi ini berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, karena kata Lianis perbub hanya bisa mengatur tanah HPL bukan tanah Kawasan Ulayat.
Ditempat yang sama, saudara dari H. Muh Syarif tampak ngotot karena mengaku mengetahui proses pengukuran karena dirinya adalah tim independen yang mengawal proses pengukuran pada Senin kemarin. Saat di tanya apakah ia sudah meyakini yang di ukur benar benar milik nama yang terdaftar dan tidak menutup fakta milik warga lain, ia kemudian tampak mulai mereda dan mengaku belum yakin.
Sementara pihak BWS melalui PPK nya Adnan yang terus coba di hubungi berkali kali lewat handphonenya sudah jarang aktif, bahkan saat coba ditemui di posko terpadu sebanyak dua kali, yang bersangkutan tidak berada ditempat sehingga terkesan bungkam.
Pihak Kuasa Hukum warga desa Tawarotebota Hasan Jaya, SH menegaskan, perlunya penelusuran oleh semua pihak terkait dari rangkaian informasi dan data yang ada, karena persoalan ini sebenarnya sudah sangat terang jika memang semua pihak terkait ingin membuka kebanaran di lapangan.
“bahwa tentu perlu adanya langkah tegas dari para penegak hukum dan pengambil serta pelaksana kebijakan untuk melakukan validasi secara maksimal, agar klaim klaim lahan tidak kemudian terjadi yang berpotensi terjadinya gesekan di tengah-tengah masyarakat” Terang Jaya.
” Kita juga berharap ada transparansi semua pihak pelaksana, mengingat SK Gubernur tahun 2019 dan perlu menjadi pedoman pelaksanaan juga, dimana ada tiga desa yang masuk dalam peta dengan luasan masing masing, hal tersebut perlu di cocokkan karena informasi yang ditemukan untuk desa Tawarotebota yang masuk sekitar 200 Ha. Jadi intinya harus di lakukan validasi untuk mengungkap fakta yang sebenarnya termasuk jika ada SKLG fiktif” Pungkas Jaya.
Jaya kemudian memastikan bahwa setelah jadwal pengukuran dan verifikasi berakhir dan tidak berjalan sesuai data dokumen yang seharusnya, maka pihaknya akan mengajukan gugatan dan melaporkan semua pihak yang terlibat termasuk yang ikut tanda tangan pada daftar nama yang menerima ganti rugi tanpa memilik memiliki lahan ataupun memiliki dokumen fiktif, termasuk oknum oknum yang diduga memiliki SKLG fiktif.
Hingga berita ini di turunkan, tim media masih menunggu informasi dari masyarakat Desa Tawarotebota yang ikut mengawal tim pengukur dilapangan.