Konawe – Perjuangan hukum para pengelola tanaman produktif terdampak pembangunan Bendungan Ameroro resmi memasuki babak awal. Sidang perdana gugatan terhadap sejumlah instansi terkait proyek Strategis Nasional (PSN) itu digelar di Pengadilan Negeri Unaaha, Rabu 24 Juli 2025.
Dari sembilan pihak tergugat yang dipanggil, hanya dua yang hadir dalam sidang, yakni Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sementara tujuh tergugat lainnya tidak hadir, sehingga majelis hakim memutuskan menunda persidangan hingga 14 Agustus 2025.
Meski kehadiran belum lengkap, agenda perdana ini menandai keseriusan para penggugat dalam menempuh jalur hukum guna memperjuangkan hak atas tanaman produktif yang telah mereka kelola jauh sebelum proyek berjalan.
Bukti Dokumen Lengkap, Harapan akan Keadilan
Kuasa hukum penggugat, Hasan Jaya Saemuna, SH, menyatakan bahwa langkah hukum ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk nyata perjuangan masyarakat yang merasa belum menerima ganti rugi atas tanaman produktif mereka, meski proyek telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
“Kami hadir dengan dokumen pendukung yang lengkap, termasuk SKGL dan bukti PBB. Klien kami telah lama mengelola tanaman secara produktif dan sah. Sampai hari ini, belum ada satu pun yang menerima kompensasi,” ujar Hasan kepada awak media.
Hasan berharap pada sidang selanjutnya, seluruh tergugat hadir dan menyampaikan penjelasan komprehensif atas data atau klaim yang menyatakan bahwa proses ganti rugi telah selesai.
Hasan Jaya kembali menyampaikan bahwa dalam pengumuman pertama, kliennya tidak tercantum sebagai penerima manfaat. Namun setelah mengajukan gugatan kepada Balai Wilayah Sungai (BWS), pada pengumuman kedua nama-nama kliennya akhirnya tercantum.
Meskipun demikian, hingga saat ini, para kliennya belum menerima satu rupiah pun, bahkan setelah beredar pernyataan bahwa proses ganti rugi proyek Bendungan Ameroro telah rampung sepenuhnya.
Sorotan terhadap Transparansi PSN
Proyek Bendungan Ameroro yang kini telah diresmikan, menjadi salah satu PSN yang strategis bagi pengairan dan ketahanan pangan di wilayah Sulawesi Tenggara. Namun, persoalan hak masyarakat yang terdampak masih menyisakan polemik, terutama bagi para pengelola tanaman yang merasa diabaikan dalam proses pendataan dan kompensasi.
Langkah hukum ini menjadi pengingat penting bahwa keadilan tidak boleh tertinggal, meskipun proyek telah berjalan bahkan diresmikan.
“Ini bukan hanya soal materi. Ini tentang pengakuan hak atas hasil pengelolaan yang sah dan berkelanjutan, serta pentingnya menjaga prinsip keadilan dalam setiap proyek negara,” tutup Hasan.
Sidang lanjutan pada 14 Agustus 2025 mendatang menjadi momentum penting, untuk menguji integritas, transparansi, dan tanggung jawab semua pihak dalam proyek besar bernilai triliunan rupiah tersebut. (Red).