MANGGARAI TIMUR, exposetimur.com – Ani Agas, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Timur (Matim), tengah menjadi pusat perhatian setelah mencuatnya dugaan korupsi terkait pengadaan alat kesehatan di RS Pratama Watu Nggong. Kasus ini mulai terungkap setelah masyarakat melaporkan adanya dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan alat kesehatan yang melibatkan anggaran bernilai besar.
Dari temuan awal, terdapat ketidaksesuaian antara jumlah alat kesehatan yang diterima dengan yang tercantum dalam dokumen pengadaan. Beberapa sumber internal menuduh bahwa Ani Agas terlibat dalam praktik mark-up harga dan pemilihan vendor yang diduga tidak transparan.
Tim Exposetimur.com berupaya menghubungi Ani Agas untuk mendapatkan klarifikasi terkait tuduhan ini, namun yang bersangkutan telah memblokir nomor kontak wartawan, sehingga sulit dikonfirmasi.
Tanggapan PPK dan Penyelidikan Pihak Berwenang
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Alkes RS Pratama Watu Nggong, Beni Samsu, membantah tudingan tersebut dalam wawancara via telepon. Ia menyatakan bahwa tuduhan keterlibatan Ani Agas hanyalah bagian dari permainan politik menjelang Pilkada.
“Tudingan itu murni isu politik. Banyak isu terkait pengadaan alat kesehatan yang sengaja dimunculkan saat momentum Pilkada,” ujar Beni. Meski demikian, pihak berwenang telah mulai mengumpulkan bukti serta memanggil sejumlah saksi untuk memberikan keterangan, termasuk Beni Samsu.
Masyarakat luas berharap agar kasus ini ditangani dengan serius, mengingat dampak yang ditimbulkan terhadap pelayanan kesehatan di Manggarai Timur.
Larangan Liputan Soal Alkes dan Kontroversi yang Muncul
Dalam perkembangan terkait, Ani Agas baru-baru ini melarang wartawan meliput kondisi RS Pratama Watu Nggong. Pelarangan ini terjadi ketika tim investigasi dari Suaraburuh.com hendak meliput kondisi fasilitas dan alat kesehatan di rumah sakit tersebut.
Nardi Jaya, Ketua Aliansi Jurnalis Online Manggarai Timur (AJO Matim), bersama timnya, menyayangkan langkah Ani Agas yang dinilai tidak berdasar. Menurutnya, peliputan dilakukan dengan niat baik, setelah ada keluhan masyarakat terkait minimnya fasilitas kesehatan pasca beroperasinya rumah sakit tersebut.
“Kami sudah meminta izin secara resmi, tapi saat melakukan peliputan, Ibu Sekretaris Dinas Kesehatan menelfon dan melarang kami melanjutkan liputan,” ungkap Nardi pada Rabu (11/9/2024). Ia juga menambahkan bahwa Ani Agas sempat merespon secara emosional saat ditanyai soal kekurangan fasilitas di rumah sakit, menyebut bahwa Nardi bukanlah auditor.
Tanggapan Praktisi Hukum dan Aliansi Jurnalis
Larangan peliputan ini menuai protes dari berbagai kalangan. Marsel Nagus Ahang, seorang praktisi hukum, menilai bahwa tindakan Ani Agas berpotensi melanggar hak wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik. Menurutnya, rumah sakit sebagai lembaga pelayanan publik harus terbuka terhadap liputan pers untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
“Tindakan ini bisa jadi indikasi adanya isu yang coba ditutup-tutupi oleh pihak rumah sakit atau dinas kesehatan. Kebijakan tersebut harus dievaluasi secara kritis agar tidak melanggar hak masyarakat untuk mendapatkan informasi,” tegas Ahang.
Senada dengan Ahang, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nani Afrida turut mengecam tindakan Ani Agas. Menurutnya, pemerintah berkewajiban memberikan akses kepada wartawan untuk menyebarkan informasi kepada publik, terlebih jika menyangkut pelayanan publik.
Nani juga mengingatkan bahwa tindakan Ani Agas bisa dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengatur bahwa siapa pun yang dengan sengaja menghalangi wartawan dalam mencari dan menyebarluaskan informasi dapat dikenakan hukuman.
Klarifikasi Dinas Kesehatan
Kepala Dinas Kesehatan Manggarai Timur, Surip Tintin, memberikan klarifikasi terkait polemik ini. Melalui siaran pers pada 18 September 2024, Surip menyebut tuduhan yang disampaikan Nardi Jaya sebagai disinformasi. Ia menegaskan bahwa larangan liputan bukan karena Ani Agas menutup akses informasi, melainkan demi menjaga privasi pasien sesuai dengan hospital bylaws.
“Memotret alat kesehatan di ruang perawatan bisa melanggar hak privasi pasien. Oleh karena itu, permintaan dokumentasi alkes ditolak untuk mematuhi aturan tersebut,” jelas Surip. Ia menambahkan bahwa Dinas Kesehatan tidak pernah menghalangi tugas wartawan dalam memperoleh informasi, namun harus tetap mematuhi peraturan yang berlaku.
Ani Agas Pernah Terseret Kasus Korupsi
Dalam rekam jejaknya, Ani Agas pernah terlibat dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan pada tahun 2013, dengan nilai kerugian negara mencapai Rp150 juta. Meskipun beberapa rekan kerjanya telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, Ani Agas dinyatakan bebas oleh pengadilan pada Agustus 2017.
Namun, catatan masa lalu ini kembali menjadi sorotan publik seiring dengan munculnya dugaan korupsi terbaru terkait pengadaan alkes di RS Pratama Watu Nggong.
Perlunya Transparansi dan Akses Informasi
Dalam menghadapi tudingan dugaan korupsi, tindakan Ani Agas memblokir akses konfirmasi wartawan dipandang dapat memperkeruh situasi dan memicu spekulasi publik. Marsel Nagus Ahang menambahkan, agar isu ini tidak berkembang menjadi komoditas politik di tengah suasana Pilkada, transparansi adalah kunci. “Jika pihak Dinas Kesehatan dan Ani Agas membuka akses kepada wartawan dan mendukung penuh proses hukum yang berjalan, kebenaran dapat diungkapkan dengan jelas. Hal ini akan memastikan publik dapat menilai apakah ini isu korupsi murni atau sekadar manuver politik,” ujarnya. Minggu (29/09).
Ahang menegaskan, semua pihak seharusnya mendukung upaya penegak hukum untuk mengungkap kebenaran secara transparan dan tanpa penutupan informasi. Dengan cara ini, publik akan mendapatkan informasi yang jelas dan obyektif, sehingga kasus ini dapat diproses secara adil.
Publik kini menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut, dengan harapan bahwa penegakan hukum akan dilakukan secara adil dan transparan.(eventius exp).