Sekitar 200 Peserta Hadiri Launching-Diskusi Buku “Kepada Jauh Yang Dekat”

Launching dan Diskusi Buku Kepada jauh yang Dekat

GOWA,EXPOSETIMUR.COM _ Bertempat di Aula FEBI (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam),pada Sabtu 28 Desember 2019, acara launching dan bedah buku “Kepada Jauh yang Dekat” karya Arief Balla dihadiri oleh hampir 200 peserta.

Tampil sebagai pemateri adalah Pepy Al-Bayqunie, Reski Indah Sari, dan Faisal Oddang. Syamsul Arief Galib, moderator, memandu jalannya diskusi diselingi humor dan selipan tawa.

Arief Balla tampil sebagai pemateri pertama dan menjelaskan ada tiga tafsiran yang muncul terkait dengan judul “Kepada Jauh yang Dekat”. Disebutnya jika pada mulanya buku tersebut akan diberi judul “Walking in The Shadows” namun setelah setahun lebih merenungkan, judul dianggap keinggris-inggrisan. Tiga tafsiran judul tersebut adalah pertama, penulis meyakini bahwa ke mana pun wajahnya menghadap, maka di situ wajah Allah. Sehingga ketika hendak berangkat merantau ke Amerika Serikat, negeri yang sangat jauh, ia meyakinkan dirinya bahwa sejauh apapun kakinya menapak, Tuhan akan membersamainya sehingga tak ada yang perlu terlalu dicemaskan.
Kedua, ia menemukan dan mempelajari nilai-nilai kehidupan dalam budaya Amerika Serikat atau budaya barat. Tepat waktu, perlakuan yang sama terhadap semua orang tanpa melihat status sosial, pelayanan yang profesional, mendahulukan pejalan kaki, menaati rambu-rambu baginya adalah nilai-nilai yang sebenarnya ada dalam nilai-nilai luhur budaya kita sebagai Bugis-Makassar dan agama Islam. Sayangnya nilai-nilai tersebut terasa jauh sekali dalam praktiknya padahal begitu dekat dengan keyakinan kita.
Dan akhirnya, kata jauh dan dekat adalah perihal jarak. Jarak dalam arti denotatifnya bisa jadi dianggap bukan penghalang namun di Amrik dengan perbedaan 12 atau 13 jam, perbedaan jarak ini bisa jadi masalah ketika hendak berkomunikasi ke tanah air. Membincangkan jarak adalah membincangkan kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan ini pulalah yang tidak pernah dibayangkan penulis bisa melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat.

Sementara Pepy Al-Bayqunie, penulis novel Calabai dan kini Kepala Balitbang Agama Sulsel, melihat ada beberapa poin penting dalam buku Arief Balla. Arief membawa identitas dirinya sebagai orang Bugis dan orang Islam secara personal namun di saat bersamaan Arief juga melakukan kritik. Disebutnya Arief sedang berusaha untuk merekonstruksi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Arief yang berasal dari pelosok datang ke sebuah kebudayaan dunia yang besar dan menunjukkan dialog yang setara. Dialog setara hanya bisa dicapai jika kita memiliki modal, memiliki stok pengetahuan untuk dibincangkan.
Reski Indah Sari, pegiat literasi dan aktivis anti korupsi, mewakili suara perempuan. Tak heran jika Reski banyak menyoroti tulisan-tulisan yang membahas isu perempuan. Selama ini ada bias gender dan Arief berusaha mengangkatnya dalam buku ini, seperti dalam esai “Jika Ada Perempuan Murahan, Adakah Juga Laki-laki Murahan”? Selama ini perempuan selalu dianggap sebagai pembawa aib sementara tidak dengan lelaki padahal potensinya sama saja.

Baca Juga :   Arief Balla Terbitkan Buku Untuk Membiayai Konferensinya ke Amerika Serikat

Adapun Faisal Oddang, penulis yang telah malang melintang ke berbagai negara, mengkhawatirkan tiga hal ketika Arief mencoba untuk menulis dan berusaha mewakili suara-suara yang selama ini bungkam (voicing the voiceless). Pertama, Faisal mengantisipasi jika Arief menggunakan cara pandang kolonial ketika berbicara identitasnya. Kedua, eksotifikasi ketika Arief membincangkan sesuatu untuk mewakili orang lain namun ia bukan bagian dari kelompok itu. Dan terakhir, ketika menyuarakan sesuatu yang tidak pernah dialaminya. Tiga kekhawatiran ini tidak ditemukan dalam buku kumpulan esai Arief Balla.

Dari Rangkaian kegiatan, di ahir acara, ditutup dengan sesi tanya jawab. Dalam sesi ini Arief menegaskan bahwa baginya setiap budaya memiliki nilai-nilai positif dan negatif dan kita bisa saling belajar. Tidak ada superior-inferior. Ia menyadari bahwa ia memiliki privilise sosial sebagai orang terpelajar. Dan adalah tanggung jawab moral, sosial, dan intelektual bersama untuk menyuarakan mereka yang bungkam dan tidak tahu cara menyuarakan suaranya sendiri (voicing the voiceless).

(Ril)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *