Opini  

Tak Ingin Seperti Mereka: Kusingkap jilbabku, Kulantangkan Suaraku

Andika Abs

OPINI, EXPOSETIMUR _Hola…Hari ini aku ingin bergurau banyak hingga mereka memujaku layaknya Tuhan-Tuhan yang dipercaya sebagai tempat kembali yang semestinya, dimana cinta kasih bermuara. “Sayang adakalanya kita harus bercinta dengan sepi, sembunyi dibalik keramaian, menyatu dengan waktu dan adakalanya kamu harus terus bersama sosokku” titahnya Si Manusia pemuja rayuan. Ada-ada saja yang suka mengikuti kalimat beberapa orang, buming sampai-sampai banyak yang ikut merajut pakaian panjang penutup aurat Si Perempuan bumi.

Beberapa pekan kemarin disetiap tempat-tempat keramaian ia hadir dengan maujud yang berhiaskan pakaian-pakaian panjang, motif menawan dan warna yang elok dipandang “Ia Alana”. Kaget, ternyata pada zaman sekarang masih ada saja manusia yang berjalan layaknya air yang mengalir. Di alam dunia ini dengan segala kemajuan zaman, jika hanya tersisa satu manusia hedon barangkali hanya ada dua pilihan, ikut atau mencoba. Ada dua konsepsi dalam muhasabah diri pertama dari dalam keluar atau dari luar kedalam, aku pernah mencoba metode kedua karena teman-teman sebayaku mamakai pakaian panjang, setiap bercengkrama bersama mereka aku selalu risih dengan pakaian yang kukenakan pasalnya lekukan tubuhku nampak sangat jelas dibanding dengan mereka yang sekujur tubuhnya dibalut kain panjang dan tebal bahkan ada juga yang hanya menampakkan kedua bola matanya.

Suatu hari aku berdiri sendiri di dalam kamar, merenung sambil bertatapan dengan cermin lalu bertanya pada diri sendiri “apakah aku masih bisa disebut perempuan baik-baik dengan keadaan yang seperti ini”, ada banyak pertimbangan dengan diriku, sebagai seorang perempuan yang masih nyaman mengenakan pakaian yang menonjolkan keelokan tubuh yang bahkan tak jarang kudapati tatapan liar lelaki menempel pada ranum buah dadaku. Aku semakin resah, kuambil beberapa pakaian ibuku yang panjang lalu kenakan dan kembali berdiri dedapan cermin. Kutatap diriku baik-baik lalu bertanya lagi “apakah dengan mengubah pakaianku seperti ini dosaku hilang sehingga bisa nampak suci seperti teman-temanku?” dengan banyak pertimbangan, esoknya kutemui temanku yang berpakaian syar’i lalu bertanya “kenapa kamu berpakaian panjang” jawabnya “agar aku lebih memotivasi diriku untuk taat pada Allah”. Akhirnya dengan jawaban itu aku mengamini dan mencoba mengubah cara berpakaian untuk lebih meningkatkan keimananku kepada Yang Maha (Mencoba).

Seminggu berpakaian syar’i teman sebayaku keheranan terhadap perubahanku yang begitu cepat, dalam pembicaraan panjang dengan mereka tiba-tiba Alana bertanya “apa yang membuatmu mengubah cara berpakaian yang dulunya transparan dan sekarang begitu tertutup?”, “Aku hanya ingin lebih taat karena selama ini aku merasa sangat jauh dariNya” jawabku. Ia membalas “semoga bisa lebih taat lagi yah, semangat hijrahnya ukhti” pertayaan itu membuat hatiku tersentuh dan sedikit heran dengan pertanyaannya. Kenapa dia bertanya begitu seharusnya dia senang dengan proses hijrahku untuk meninggalkan dosa-dosa yang pernah kuperbuat dan semoga kerudung panjang ini bisa memotivasi diriku menjauhi segala laranganNya dan melaksanakan perintahNya.

Malam tiba, aku sedikit terganggu dengan percakapan tadi siang, lalu aku kembali berdiri didepan cermin, tiba-tiba buku yang tersusun rapi didalam rak menyita perhatianku. Berderet-deret buku disanamulai dari sastra,sejarah dan dan tentunya selaku pemilik keyakinan juga memiliki buku tentang Tuhanya. Penasaran juga, dengan menguatkan iman beberapa buku tentang spiritual kuhatamkan. Dari banyaknya teori-teori Filsuf yang mengajarkan beberapa konsepsi kemanusian kutarik kesimpulan bahwa kita selaku manusia tidak mungkin hidup abadi dan tentunya akan kembali pada Sang Khalik untuk mempertanggungjawabkan hasil dari perjalanan hidup di dunia.
Sebulan memakai pakaian syar’i ini ketakwaanku bertambah. Lima waktu tak pernah kutinggalkan bahkan beberapa sunnah kutunaikan, teman-temanku bangga dengan perubahan drastisku ini mereka juga bersyukur karena tidak kembali kemasa jahilku yang kemarin, bergaul dengan siapa saja, minum alkohol dan tak segan bersentuhan dengan non mahrom tapi sykur selaput darah perawanku masih bisa kupertahankan.
Setengah tahun kujalani dengan mamakai pakaian syar’i dan memutuskan untuk hidup taat padaNya. Pada suatu sore aku pergi ke toko buku tiba-tiba handponeku berbunyi teryata laki-laki yang pernah tidur denganku mengajakku untuk bertemu dan melakukan hal yang sama seperti dulu. Kukatakan, kita sudah tidak ada ikatan lagi. “Kalau kamu tidak mau masa lalumu akan ku umbar pada teman-temanmu biar mereka semua tau siapa kamu sebenarnya” dengan nada ancaman telfon itu dimatikan. Semua privasi tentanganya kusirnahkan lalu hal ini kuceritakan pada temanku, ia kaget dengan masa lalaku yang hampir tak bisa dimaafkan, temanku hanya berucap “kamu harus kuat percayalah bawha Tuhan tidak akan memberi ujian diluar kesanggupan hambaNya.” “iya, syukron” jawabku. Selepas pembicaraan itu kami semua pulang, dipersinggahan jalan kulihat Alana dijemput oleh seorang lelaki yang pernah bersamaku sebelumnya, ia terus kubuntuti, ternyata mereka ada dibawah kolom jembatan. Tepat pukul 9 malam mereka kusaksikan tengah bermesraan, bercumbu dan beradu dalam berahi. Hatiku tak karuan melihat seorang wanita berkerudung syar’i, ternyata bisa juga berkecamuk nafsu bersama leki-laki yang bukan istrinya!. Kutancap kendaraan dengan air mata yang berjatuhan seperti tak percaya dengan apa yang telah kusaksikan tadi. Tiba dirumah ibu bertanya “kenapa kerudungmu basah” kujawab “hujan dijalan”. Kelakuan sahabatku tadi terus terbayang-bayang dikepala. Kenapa laki-laki itu selalu menjadikan perempuan sebagai mangsa empuk pemuas nafsu birahinya apalagi dengan Alana, teman hujraku, apakah mereka berfikir bahwa kelamin mereka yang tak bisa ditebak kesucianya dan peremuan yang memiliki selaput darah sekali koyak tak akan bisa kembali seperti dulu lagi. Tapi dalam hal ini dan disegala bidang kaum lelaki selalu menjadi prioritas padahal merekalah yang banyak melacuri perempuan-perempuan yang tak tahan dengan rayuan bibirnya, memang tidak semua lelaki tapi sebagian besar.
Bohonglah seorang penulis yang menulis buku-buku percintaan yang isinya berceritakan pelacuran dan akhir buku itu menyuruh lelaki menghargai perempuan, bulshitt!. Esok paginya kutemui Alana dan bertanya “saya kecewa denganmu atas apa yang saya lihat semalam dengan lelaki itu, teryata kamu hanya suci diluar busuk didalam, muanfik” dia menjawab “ini hidupku tak usah ikut campur”, dengan santainya ia menjawab lalu pergi, insiden itu mematahkan semangat hijrahku, saat itu jilbab tak lagi bisa memotifasi diriku dan aku tak punya alasan untuk meneruskannya. Jika jilbab hanya sebagai symbol penyerahan diri pada Tuhan dan hanya digunakan untuk bersembunyi dibalik kejahilan, buat apa saya pakai jilbab. Seorang teman pernah berkata bahwasanya berhijab syar’i dapat meningkatkan kulitas ibadah pada Allah namun realitanya semua hanya fiksi semata, bagiku jilbab hanya simbolis agar mereka terlihat suci dan taat pada TuhanNya “Alasan duniawi” walaupun barangkali hanya sebagian kecil perempuan seperti itu tapi bagaimanapun memanfaatkan jilbab tetaplah dosa.

Baca Juga :   Menanti Terobosan Kades Terpilih Gerakkan Ekonomi Masyarakat Melalui BUMDes Barugariattang

Tak bisa dipungkiri dengan buku-buku dan berita-berita dikoran yang sering kubaca, bahwa diluar sana ada segelintir orang bersikukuh ingin menerapkan syariat Islam di bumi Indonesia ini. Belum sampai disana, tindakan zalim itu sudah terjadi dimana-mana. Perempuan tak berhijab dizinahi, perempuan dibawah umur dizinahi dan perempuan berekerudung panjang tersebar vidionya bersetubuh dengan lelaki bahkan ada juga pimpinan pondok pesantren menzinahi santrinya!. Seakan-akan ada perbedaan kesucian diantaranya maka dari itu saya ragu dengan kata suci. Istilah itu seperti hanya diperuntuhkan untuk perempuan tidak untuk laki-laki. Padahal dalam hal ini lelaki dan perempuan punya kodrat masing-masing, mengapa harus dibedakan? Satu hal yang membuat saya kerap ingin berontak adalah upaya pengkotak-kotakan antara perempuan baik-baik dan tidak baik-baik dengan melihat pada pakaiannya. Seolah-olah jilbab adalah simbol kesucian perempuan, dan saya benci dengan istilah ‘kesucian’. Karena istilah itu hanya dan memang selalu diperuntukkan untuk menilai perempuan, tidak pernah pada laki-laki. Padahal baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewaJiban yang sama untuk memelihara kesucian diri. Namun hanya karena perempuan bervagina dengan selaput dara yang dapat rusak dalam sekali koyak, sementara penis laki-laki dianggap akan tetap utuh selama-lamanya, sehingga beban kesucian, hanya diperuntukkan pada perempuan.
Hal ini tak patut dianut bahwa perempuan hanya objek semata. Semua hal pernah kulakukan kecuali melepas keperawananku, barangkali aku yang terlalu salah menanggapi soal keperempuanan, lewat peristiwa yang kualami, kuanggap itu cobaan menuju ketaatan padaNya.
Sejak dulu pun saya tak pernah menyepakati bahwa jilbab adalah kewajiban bagi setiap Muslimah, sebagai bentuk ketakwaannya pada Allah. Dari dulu saya memang paling enggan menghubung-hubungkan tingkat keimanan dengan jilbab atau cara seseorang berpakaian. Iman adalah persoalan yang sangat pribadi dan intim antara Tuhan dengan hamba-Nya sehingga tidak seorangpun yang berhak menilai atau menghakimi hanya dari hal-hal yang saya nilai tak esensial.
Saya selalu beranggapan bahwa jilbab adalah sunnah, yang jika dikerjakan berpahala. Sesuatu yang baik untuk dilakukan sebagai pemacu untuk berbuat lebih baik dalam segala hal. Dan aku selalu memimpikan sosok perempuan berjilbab yang tidak malu-malu dengan suara yang lantang dan berprestasi sehingga nyaris mendekati gambaranku tentang kesempurnaan pada perempuan.
Setelah itu aku berfikir apakah seorang pelacur tetap beribadah atau tidak. Lewat pensaranku, malamnya aku keluar dan singgah ditempat maksiat yang dulunya tempatku nongkrong. Saat pintu kubuka semua pandangan tertuju padaku tiba-tiba ada yang berteriak “lihat ada bunglon” meledekku dengan kalimat tak senonoh lalu kurampas mic yang ada dipanggung dan bertanya pada mereka “apa bekal kalian untuk akhirat” mereka menjawab “tempat ini bukan untuk wanita sepertimu” kubalas dengan pertayaan “kenapa aku juga sudah bayar masuk bar ini” lalu ia bertanya kembali “sudah berapa orang yang kamu perjuangkan haknya” lalu kujawab “hak apa” ia menyanggah “kamu lihatkan orang pemulung yang ada dikolom jembatan, mereka itu mau sekolah tapi sekolah hanya menerima orang banyak uang” jawabku “aku kesini bukan untuk itu tapi untuk memberitahu kalian seberapa besar dosamu hari ini” masih ingin bercerita panjang tiba aku diseret dua penjaga bar keluar. Setiba dirumah saya berfikir ada benarnya juga yah jawaban orang-oarang yang dibar semalam mungkin aku sibuk berhijrah sampai lupa untuk berperi kemanusiaan.
Kita manusia memang serba terbatas, baik dalam kemampuan melihat dan berfikir yang melampaui beberapa sudut pandang. Mereka fikir berjilbab sudah menyelesaikan separuh permasalahan umat, selama pengkotak-kotakan terhadap moral perempuan terus digalakkan selama itu juga masyarakat semakin punya justifikasi sendiri untuk mengontrol perempuan atas nama agama, atas semua kemarahan dan jeritan pelecehan, atas nama patriarki yang membara dalam hatiku, maka dari itu aku memutuskan menyingkap jilbabku, melantangkan suara berdiri di garda terdepan menyuarakan hak-hak manusia yang telah dirampas dan dicuri atas nama kekuasaan dan keserakahan manusia amoral yang dinggap bermoral.

Penulis : Andika Asb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *