Opini  

Suka Impor Barang Online? Ingat Kamu Kena Pajak

Arniyati Jurusan Akuntansi UINAM

OPINI, EXPOSETIMUR.com — Suka Impor Barang Online? Ingat Kamu Kena Pajak. Pemerintah atau khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan secara resmi menurunkan batasan (threshold) bea masuk dan pajak untuk barang kiriman.

Hal ini untuk membendung tanah air tidak kebanjiran produk impor lewat e-commerce. Awalnya, barang bebas bea masuk maksimal US$ 75 atau Rp 1.050.000, kini diturunkan menjadi maksimal US$ 3 atau Rp 45.000. Jika harganya di atas US$ 3 maka akan kena bea masuk. Aturan ini berlaku Januari 2020. Dengan revisi aturan ini tarif pajak yang akan dikenakan akan turun.

Rinciannya, bea masuk tetap 7,5%, pajak pertambahan nilai (PPN) 10% dan Pajak penghasilan (PPh) 0%. Sehingga totalnya turun menjadi 17,5% untuk barang umum. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi mengatakan ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangannya. Pertama, untuk melindungi industri kecil menengah dalam negeri. Pemerintah memberi ruang yang besar terhadap industri dalam negeri sehingga masyarakat bisa menikmati pasar sendiri atau bermain di rumah sendiri, menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kedua, untuk menciptakan perlakuan perpajakan yang adil (level playing field) antara hasil produksi dalam negeri dengan produk impor.

Aturan ini untuk mengeliminasi kesenjangan antara produk dalam negeri yang membayar pajak dengan produk impor yang masih membanjiri pasaran Indonesia.
Namun, tentunya langkah ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan barang import beredar, selain harga lebih murah, mutu lebih baik dan tidak semua barang bisa diproduksi di Indonesia, sehingga masih banyak masyarakat yang lebih memilih impor barang ketimbang menggunakan produk lokal.

Pemerintah seharusnya lebih meningkatkan kualitas barang produksi dalam negerinya bukan hanya menekan barang importnya. Maka masyarakat dengan sendirinya akan beralih dari menggunakan produk impor ke produk dalam negeri.

Adanya rencana penurunan batas barang kena bea masuk dan pajak atas barang impor menyebabkan sebuah petisi dilontarkan ke Sri Muliyani. Petisi tersebut mengatakan bahwa penjual importir kecil, supplier dropshiping online shop dan pengrajin yang membutuhkan bahan baku yang tidak ada di indonesia merasa sangat terjerat dengan adanya aturan baru tersebut. Jika importir dipersulit maka akan banyak distributor yang akan tutup dan menganggur. Adanya aturan penurunan ambang batas bea masuk juga berpotensi menyebabkan merosotnya pendapatan PT Pos Indonesia, karena hampir sebagian besar pengiriman impor e-commerce melalui PT Pos Indonsia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa memang indonesia kebanjiran barang impor sehingga hal ini merugikan Industri Kecil dan Menengah (IKM) serta pelaku usaha lokal. Berdasarkan catatan dokumen impor, sampai saat ini kegiatan e-commerce melalui barang kiriman di indonesia mencapai 49,69 juta paket pada tahun 2019. Angka tersebut meningkat tajam dari sebelumnya yang hanya sebesar 19,57 juta paket pada tahun 2018 dan 6,1 juta paket pada tahun 2018 dan 814 persen dibandingkan tahun 2017. Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor diberlakukan normal (tidak ada batas ambang bawah/de minimis). Sehingga sulit bagi Unit Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bersaing dari sisi biaya produksi jika produk impor yang nominalnya kecil sekalipun tidak dikenakan bea masuk.

Baca Juga :   Utang Indonesia Makin Membengkak, Bagaimana Dampaknya?

Sehingga hal ini juga menjadi pertimbangan bagi pemerintah membuat aturan pengenaan pajak terhadap barang impor tersebut.
Pemerintah dalam menurunkan batas bea masuk menunjukkan produk Indonesia masih kalah saing dengan produk luar negeri, sehingga pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang dapat meningkatkan daya saing produk dalam negeri.

Karena bagaimana bisa Indonesia dapat meningkatkan ekspor dan juga bagaimana membuat bangsa indonesia bangga dengan produk dalam negeri kalau produk kita tidak kompetitif. Oleh karena itu walaupun banyak aturan dibuat namun ketika produk indonesia itu sendiri tidak dapat memuaskan konsumen maka tentunya produk luar negeri masih akan tetap dicari.

Penulis: Arniyati Jurusan Akuntansi UINAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *