Opini  

Ngopi Bersama Tuhan

Diaz Erlangga : Ngopi Bersma Tuhan
Diaz Erlangga : Ngopi Bersma Tuhan

“Ngopi Bersama Tuhan”

Oleh : Diaz Erlangga (Mahasiswa Ekonomi Islam UINAM Angkatan 2017)

OPINI – Tuhan dan kopi tentu merupakan dua zat yang berbeda dan juga memiliki nilai yang amat berbeda di kalangan para penikmatnya. Jika Tuhan telah memiliki sejarah panjang dalam kesadaran para penyembahnya maka berbeda dengan Kopi yang terbilang cukup baru mendapat tempat dalam sejarah para penikmatnya.

Jika kopi kiranya telah cukup memberi kepuasan tersendiri kepada para penikmatnya, maka menurut saya Tuhan pun telah ikut terlibat dalam pemuasan hasrat imajinasi manusia.

Jika kita membaca buku yang ditulis oleh Harari yang berjudul Sapiens (A Brief History Of Humankind) maka kita akan dapat suatu periodisasi sejarah awal dimana Sapiens (hewan bijak) mengenal Tuhan. Melalui revolusi kognitif sapiens kemudian berubah menjadi mahluk yang pandai memahami simbol & berkomunikasi. Melaluinya sapiens mengenal sebuah ‘realitas lain’ yang dikemudian hari disebut sebagai Tuhan. Dalam sejarahnya, Tuhan juga telah bertransformasi menjadi tuhan-tuhan yang sesuai dengan selera para penyembahnya. Tuhan mengalami tranformasi Radikal dari Tuhan yang banyak (Politeis) berubah menjadi Tuhan yang Tunggal (Monoteis). Tuhan yang tunggal ini dalam sejarah agama langit (Samawi) kemudian di sebarluaskan oleh para nabi (utusan Tuhan) di kalangan manusia Bumi. Bila sebelumnya manusia Bumi telah akrab dengan banyak tuhan, maka misi para utusan Tuhan (para nabi) tujuannya adalah mengajak pada penyembahan Tuhan yang Satu. Agama para nabi ini tentunya telah sukses mengajak mayoritas masyarakat manusia untuk menjadi pengikutnya. Beberapa penulis sejarah agama-agama Samawi menyebut bahwa agama Tuhan Tunggal menawarkan pembebasan manusia bukan hanya di dunia. Tetapi sampai ke dunia lain (akhirat). Neitzche menyebut agama Tuhan Tunggal adalah agama para mereka yang kalah. Sebab mengajarkan kepasrahan dan ketundukan yang rumit. Di era modernisasi banyak para pemikir yang menaruh perhatian pada Tuhan Tunggal dan menempatkannya pada level teratas yang sulit dipahami. Paham agnostisisme saya kira adalah bentuk penyerahan pikiran manusia atas ketidakmampuannya menggapai Tuhan. Dengan demikian banyak spekulasi yang muncul tentang Tuhan. Ada yang membawa Tuhan hanya pada hasrat pemuasan pada taraf ibadah. Ada yang menaruh Tuhan pada pojok alam semesta setalah menciptakannya. Paham ini disebut Deisme. Ada pula yang sampai pada level peniadaan Tuhan pada tingkatan yang Radikal (ateisme).

Baca Juga :   Hari Keadilan Internasional dan Omnibus Law

Di dalam tulisan ini mungkin tidaklah terlalu mendalami aspek ketuhanan secara esoterik maupun aksoterik. Tetapi melalui tulisan ini izinkan saya menyinggung sedikit tentag kondisi kebertuhanan kita yang makin hari semakin praktis. Tuhan ialah Dzat yang Maha Besar dan eksistensinya sulit untuk ditampung dalam kepala manusia. Namun, Nama Tuhan sejatinya adalah bentuk lain dari kehadiran-Nya dalam alam imajinasi manusia yang konkret. Manusia materi hanya bisa manampung kebesaran Tuhan hanya melalui nama-Nya. Menurut saya berbagai upaya-upaya untuk menampung Tuhan dalam diri manusia telah banyak dilakukan oleh kaum sufistik. Dalam Islam kita kenal dengan istilah tasawuf. Dalam tradisi ini, manusia telah berhasil merasakan Tuhan dalam dirinya. Proses penghadiran Tuhan dalam diri manusia telah banyak dialami oleh para manusia suci yang katanya sudah muak dengan dunia dan seisinya.

Pada alam imajinasi manusia modern, tangan Tuhan kembali diajak menulis tentang keunikan Tuhan dan manusia. Tuhan diajak berkompromi atas kerisauan manusia terhadap berbagai macam persoalan hidup yang dimana sejatinya bisa diselesaikan oleh dirinya sendiri. Perenungan Tuhan bagi mereka yang telah tuntas memahamiNya pada tingkatan akal dan hati adalah suatu anugrah. Tetapi bagi mereka yang masih menyisakan ruang kosong dalam alam imajinasinya, Tuhan dianggap masih berdiri di kaki langit dan memantau segala macam bentuk aktivitas dari penyembahnya (hambanya).

Terakhir, semoga suatu saat nanti kita semua di pertemukan pada Tuhan yang sama. Tuhan yang ramah, bukan pemarah. Tuhan yang maha asyik, bukan yang mengusik. Tuhan yang teduh dan meneduhkan, bukan penuduh. Dan Tuhan yang memang pasti, bukan hanya sekedar imajinasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *