HISTORY, exposetimur.com | Bonto Tangnga (wilayah di Kabupaten Bulukumba) menjadi saksi bisu atas sebuah peristiwa perang segi tiga dari 3 pasukan dengan latar dan alasan perang masing masing. Masa itu sekaligus menjadi ujian kekesatriaan dan sikap istiqamah dari para “Pattuppu Batu dan Pabbarani” dari orang-orang Bugis yang masih tersisa.
Dari semua arena perang fisik yang pernah dialami TII, peristiwa di Bontotangnga tercatat sebagai peristiwa yang paling dahsyat sehingga ayah menggambarkannya : “Iyami Tahang telluE batu lase’na iyare’ga se’di” (yang bertahan hanya yang memiliki 3 biji peler atau 1).
Di tengah prahara ini, Pasukan Dompea di bawah pimpinan Baco Simboleng Krg. Bodobodoa menurunkan prajurit berani mati dengan formasi unik yang dirancang untuk mampu melompat merampas senjata senjata dari tangan musuh. Krg. Bodobodoa membakar semangat pasukannya dengan motto : “Jika kalian tewas di arena ini, besok saat matahari terbit, kalian akan hidup kembali”
Namun tercatat pula bahwa, saat itu menjadi saat untuk pertama kalinya, pasukan gaib Krg. Bodobodoa berupa ribuan tawon sihir dari beras ketan hitam dan juga ratusan ular yang menjelma dari benang hitam, saat itu tidak bisa jadi. Berkarung – karung beras ketan hitam bertebaran tak menjelma jadi tawon. Begitu pula benang hitam tak ada yang menjelma jadi pasukan ular. Padahal pasukan sihir inilah yang paling diandalkan Krg. Bodobodoa untuk menghancurkan pasukan musuh.
Dihari kedua perang, tokoh-tokoh ksatria terkenal sudah mulai banyak mundur dan lari dari arena, termasuk Lai-lainna Pa’ngasa’.
Memasuki hari ketiga, selain yang tewas dan melarikan diri, pasukan tertara Islam hanya tersisa 8 orang antara lain Bung Palakiyah Calabai Tungke’na Sapu Beru, A. Muhammad Thahir, Sabil Sunusi Kaccone’na Lasiai, Tabe Lotong Lela Patuppu Batunna Bulu’poddo, Juddin Abu Pabbaraninna Mangara’Bombang, Juma’ Parelle’ Songi, Menca’ Bongki Pabbulanna Lasiai dan AG. U. Paolai.
Usai peristiwa itu, Calabai Tungke’na Sapu Beru, ksatria yang terkenal dengan kecepatannya dan anti gores segala senjata dengan dukungan badik sakti bernama “Calleke’E’ yang sekali gores musuh tewas terkapar, datang menemui AG. U. Paolai dan bertanya, “Tabe Puang, elo’ka makkutana. Siagaki ittana tuli silaoang ri pammasareng na de kuengka mitai aseggerrengTa’ na dE kenneng to kupura mitaki’ pitangngi boko’ baliE” (saya mau bertanya. Beberapa kali kita selalu bersama di medan perang namun saya tidak pernah menyaksikan kesaktianTa’ namun saya juga tidak pernah menyaksikan puan lari dari hadapan musuh).
Menanggapi pertanyaan itu, ayah menjawab :
“Iyatu kiakkutanangngE bung Palakia, To ritanai tennaisseng, To Makkutana teng napahang” (Yang ditanya tdklah lebih tahu dari yang bertanya/yang ditanya tidak tahu, yang bertanya tidak paham).
Memilih hidup zuhud, memegang teguh prinsip dan keyakinan, sabar dan bertahan dari seluruh ujian dan prahara dunia dan sikap pantang menyerah namun tetap rendah hati tetap mewarnai hidup AG. Ukkas Paolai hingga ajal menjemput beliau pada hari Jum’at, 15 Sya’ban 1443 H. dan sesuai permintaan beliau semasa hidup, beliau dimakamkan di Baruga Riattang – Kecamatan Bulukumpa yang sebelumnya, lokasi rumah/pemakaman itu adalah tanah wakaf yang diberikan sesepuh kampung/murid-murid beliau yang memaksa beliau untuk tetap tinggal di daerah itu untuk membumikan Agama Islam. Penduduk ketika itu bersimbah air mata memohon agar beliau tinggal.
Semasa hidup beliau ceritakan bahwa : “Uwae matannami tau maegaE na kuengka monro komai!”
Atas dasar itulah, setelah beliau wafat, keluarga menyematkan nama Anumerta/ nama setelah wafat : Guru MatinroR ri Sunreng UwaE Mata, artinya Guru yang wafat di (tanah ) mahar air mata.
Oleh: A. Burhanuddin U. Paolai