Opini  

“PENULIS BUKAN PENJAHAT”

Foto Nurhidayahtunnisa, Siswi SMAN 9 Sinjai

OPINI, EXPOSETIMUR _ “Kata yang tepat mungkin efektif, tetapi tidak ada kata yang sama efektifnya seperti jeda yang tepat waktu.” [Mark Twain]

Ini tentang anggapan orang-orang yang menilai penulis ada penjahat, “But I do not agree because in my opinion the writer is a unique human being who is given strength by God”.

Jujur, menulis adalah hobi lama yang juga  telah  lama  saya tinggalkan. Kesibukan keluarga dan urusan sekolah, membuat tak cukup waktu untuk kembali menekuninya. Sesekali ketika melihat – mendengar sebuah kisah/peristiwa, sebenarnya ‘lonceng’ di kepala ini masih berbunyi:  “ting”    semacam sinyal :  hey… ini bahan bagus banget jika ditulis.

Saat saya membaca salah satu buku yang di dalamnya terdapat Kalimat
“Ketika seseorang menulis di ruang publik, berarti ia sedang menyita sebagian ruang yang sejatinya bukan miliknya, maka para penulis itu sesungguhnya kurang ajar.

Sedemikian pentingkah mereka, sehingga seluruh semesta perlu membaca tulisannya?”

Kalimat ini manarik saya ke dalam sebuah ruang sunyi untuk merenung. Niat saya selama ini berbagi manfaat melalui tulisan, tetapi benarkah diterima demikian oleh para pembaca?

Atau jangan-jangan itu  perasaan saya saja? Terlalu Ge er, terlalu Pe De. Terlalu yakin apa yang saya sajikan pasti bermanfaat,  pasti membuat orang lain senang.  Tiba-tiba saya khawatir,  benarkah saya masuk dalam kategori manusia  kurang ajar? yang memakai ruang publik seenaknya, yang memaksa orang membaca karya saya, padahal itu semua tak bermakna, manfaat alias sia-sia.

Ya, ketakutan bahwa, sebenarnya saya tak cukup melihat, kurang banyak mendengar dan terlalu sedikit wawasan untuk mengumpulkan bahan dan kemudian menuliskan nya dalam sebuah tulisan, itulah yang  rupanya mengerem saya, agar tidak menjadi manusia yang merampas ruang ruang publik dengan cara kurang ajar.

Saya membuka jendela dan merenung. Ada banyak kejadian di luar sana. Hampir semua orang yang berlalu lalang yang sebenarnya juga melihat peristiwa demi peristiwa itu. Tetapi belum tentu mereka tergugah atau terpanggil untuk mengamati, melihat dari sisi yang lebih dalam atau meneropong dari sudut pandang yang berbeda, menarik benang merah sebab  akibatnya, dan  kemudian menyusunnya menjadi sebuah tulisan.

Maka ketika kesadaran itu muncul, yang terbersit kemudian adalah, oh bukankah ini  anugrah yang tidak semua orang mendapatkan? Bukankah ada semacam sikap abai, bahkan mungkin levelnya berdosa ketika kita tidak memanfaatkan anugrah yang diberikan Tuhan, terutama untuk menebar kebaikan?

Dan dalam pikiran lain berpendapat lagi tentang kata”, “Manusia Kurang ajar” menurut saya, ada satu jurus jitu bagi para penulis agar tidak disebut kurang ajar. Istilahnya, meski penulis itu telah merampas ruang pribadi para pembaca, buatlah ruang pribadi itu menjadi ruang berguna. Ini agar seumpama kata-kata mutiara demikian “mencurilah tanpa ada yang kehilangan, membunuhlah tanpa ada yang mati”

Memang, kata-kata mutiara di atas terkesan berlebihan. Bagaimana mungkin seseorang disebut membunuh tanpa ada yang mati? Bagaimana mungkin kita mencuri, tetapi tak ada yang kehilangan? Sehebat apa pun pembunuh tak akan bisa membunuh tanpa ada nyawa yang tertebas. Justru, seseorang disebut pembunuh setelah dia berhasil menebas nyawa. Kalau tak menebas, seseorang tak akan disebut sebagai pembunuh. Memang, ada istilah dari Kitab Suci, bahwa gandum harus mati agar membuahkan hasil yang banyak.
Artinya, kita harus menebas biji gandum dari batangnya, lalu menguburkannya ke tanah-tanah subur. Kelak, gandum itu akan berbuah. Masalahnya, seseorang yang disebut sebagai pembunuh di sini bukanlah pembunuh secara tekstual. Alih-alih pembunuh, seseorang itu adalah petani. Seseorang itu hanya akan benar-benar menjadi pembunuh jika gandum yang ditebas dari tangkainya, lalu karena benci, dikubur hidup-hidup di bebatuan cadas. Niscaya, gandum tak akan tumbuh. Meski tumbuh, gandum itu hanya akan menyampaikan salam terakhirnya pada dunia.

Nah, bagaimana dengan penulis yang telanjur disebut sebagai pencuri? Seperti tadi, telanjur pula saya imani bahwa penulis itu haruslah ibarat pencuri yang membuat seseorang tidak merasa kehilangan, justru merasa mendapatkan! Nah, dalam pada inilah, saya pikir, penulis harus menjadi petani yang menanamkan gandumnya di tanah-tanah yang subur. Bagaimana penulis menjadi petani? Tentu, penulis itu harus membibitkan sebuah benih yang berguna. Di sini, ruang pembaca yang diserobot penulis harus dijadikan penulis sebagai sawah yang subur.

Kepemilikan sawah itu tentu bukan lagi wewenang penulis. Sawah itu murni dimiliki oleh pembaca secara sah. Karena itu, hasil panen dari sawah itu kelak bukan hak milik penulis. Panen itu milik pembaca. Penulis hanya berhak menanami, bukan memanen. Satu-satunya hak panen penulis adalah upah dari pembaca. Sederhananya, jika menulis di sebuah media, penulis tentu diberi upah karena ada yang membaca. Walau ada media, tanpa ada pembaca, maka penulis tak akan mendapatkan upah. Penulis tak akan ada tanpa pembaca.

Baca Juga :   Undang-Undang Pilkada Menyisahkan Banyak Problem Hukum, Mendesak Untuk di Revisi

Jadi, hierarki kepemilikan harus diubah. Bukan pembaca di kasta terbawah, melainkan penulis. Memang, dalam sebuah perusahaan, seringkali karyawan lebih hebat daripada pemilik. Tetapi, kepemilikan sebuah perusahaan tidak dilihat dari seberapa pintar seseorang. Dengan kata lain, jika bisa diibaratkan, penulis tak kurang dan tak lebih hanyalah karyawan dari pembaca yang dipekerjakan di sawahnya. Karena itu, penulis harus bekerja dengan maksimal, tidak bisa asal-asalan. Sebab, jika penulis menggunakan sawah itu dengan asal-asalan, pada saat itulah karyawan sudah sah mencuri sawah. Demikian juga sebaliknya.

Selain itu, yang jauh lebih penting, jika menulis, penulis harus berada pada luar cerita. Penulis tidak bisa melulu mengandalkan naluri, apalagi curhatannya. Penulis sedang menggarap sawah, bukan sedang membangun tenda untuk bersenang-senang sendiri. Memang, dalam tulisannya, penulis bisa saja memainkan naluri dan curhatan pribadinya. Sebab, tulisan juga harus punya jiwa dan perasaan. Tetapi, harus tetap, bahwa naluri dan curhatan bukan menjadi pokok utama. Jadi, dalam setiap tulisan, posisi penulis tetaplah harus berada di pinggiran cerita, setidaknya, begitulah Derrida berucap.

Dengan kata lain, curhatan dan naluri itu harus tetap sebagai cerita dari pembaca yang juga dialami atau dikhawatirkan penulis. Pengalaman bukan berarti harus dialami sendiri. Pengalaman bisa juga dalam bentuk kekhawatiran bahwa jika pengalaman itu datang kembali, maka di sini penulis bisa menjaga tuannya (pembaca) dari celaka. Penulis harus sigap menulis bukan untuk menyelamatkan diri, apalagi meluapkan kata-katanya hanya untuk menyerapah dan bersenang-senang. Akan tetapi, penulis datang untuk melindungi tuannya.

Semoga Saja Penulis bukan budak, karena itu, tidak bisa bermental budak. Bermental budak dalam artian, yang penting menulis kata apa-apa saja, menyodorkannya ke pembaca, dapat honor, lalu bisa makan. Penulis itu harus bermental pencipta. Karena itu, urusan tulisan tidak selesai ketika mengepul di dapur penerbitan, dikunyah di ruang terbuka, lalu kita mendapat bayaran. Lebih dari itu, kita harus melihat, apakah tulisan itu dimasak dengan bumbu tepat, dengan api yang benar, setengah matang atau gosong.

Setelah itu, kita juga harus melihat, setelah pembaca mengunyahnya, apakah mereka menjadi penyakitan atau tidak, semangat atau malas, berpikir benar atau berpikir melar? Jika penyakitan, jika malas, jika melar, maka benarlah apa yang dikatakan Y.D. Anugrahbayu, bahwa penulis adalah pencuri. Bahkan, lebih dari pencuri, penulis adalah pembunuh tersadis. Disebut tersadis karena mereka membunuh orang lain di ruangan pribadi pembaca itu sendiri. Hanya pembunuh sadis yang bisa membunuh tawanannya di rumah pribadi tawanan itu sendiri.

Saya pikir, penulis kita saat ini tidak ada pembunuh. Atau, jangan-jangan saya keliru sehingga karena tulisan ini, saya tak sadar bahwa beberapa pembaca langsung muak, pusing tak mengerti, pingsan, bahkan mati setelah membaca tulisan ini? Semoga saja tidak karena saya tidak berniat untuk membunuh. Jika kebetulan ada nyawa yang tertebas karena tulisan ini, maka pada saat ini, saya berniat agar bisa menjadi pembangkit orang-orang yang mati karena tulisan-tulisan saya. Maksud saya, marilah menulis dengan benar sembari tetap belajar dengan tekun!
Lalu keputusannya adalah saya akan menulis (lagi). Insya Alloh dengan lebih bertanggung jawab. Yaitu dengan terus meluaskan pandangan mata, mempertajam pendengaran dan memenuhi otak dengan bekal sebanyak-banyaknya, agar tulisan yang  saya lempar ke ruang publik bisa bermanfaat, minimal tidak terlalu mengecewakan.

“Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. [Imam Al-Ghazali].

Penulis Nurhidayatunnisa
Siswi SMAN 9 Sinjai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *