Diduga Pengukuran Ganti Rugi Lahan Terdampak Proyek Bendungan Ameroro Tidak Melibatkan Warga Desa Tawarotebota

Kondisi Posko Warga Desa Tawarotebota di tengah lahan yang terdampak atas proyek bendungan Ameroro sedang melakukan pemantauan tim terpadu dan satgas BWS untuk memastikan pengukuran dan verifikasi sesuai dengan dokumen hak mereka.

Konawe, exposetimur.com|Polemik ganti rugi lahan terdampak genangan atas proyek bendungan Ameroro di Kab.Konawe Sulawesi Tenggara terus berlanjut. Hal tersebut terjadi bermula saat dikeluarkannya Peraturan Bupati Konawe Nomor 70 Tahun 2021 yang dinilai bertentangan dengan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014, dan peta Badan Informasi Geospasial (BIG) serta keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara yang tidak terpisahkan dalam landasan proyek bendungan Ameroro.

Perbub tersebut kemudian menjadi perdebatan dikalangan masyarakat, khususnya pemilik lahan yang sebelum Indonesia merdeka sudah menjadi lahan garapan warga Desa  Tawarotebota, dan dibuktikan beberapa dokumen dari pemerintah setempat, sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ) Konawe mengeluarkan rekomendasi agar perbub tersebut tidak dilaksanakan karena berpotensi merugikan masyarakat.

Rekomendasi DPRD Konawe itu kemudian terkesan tidak di indahkan bahkan juga termasuk hasil rapat dengan pihak pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara dengan rekomendasi yang sama bahwa pihak pelaksana lapangan untuk merujuk pada aturan yang ada, hal tersebut sesuai informasi dari kepala Desa Tawarotebota.

Dari informasi warga dan kepala desa Tawarotebota bahwa sesuai jadwal yang telah di sepakati bahwa proses pengukuran, dan verifikasi hingga pembayaran ganti rugi tersebut di mulai tanggal 29 September 2023 dan berakhir pada tanggal 7 Oktober 2023.

Kepala Desan Tawarotebota, Lianis yang di konfrimasi media ini, Ahad 1 Oktober 2023 membenarkan hal tersebut dan mengaku sudah dilakukan pengukuran sejak Sabtu 30 September 2023 kemarin, dan ia mengatakan bahwa untuk  lokasi yang masuk wilayah Desanya dimulai dari jembatan sekitar penggusuran yang sudah sejauh 2 KM.

” Tadi saya naik dan sekitar jam 2 saya pulang dari lokasi, Pengukuran tadi untuk desa Tawarotebota sekitar sudah dua kilo dari jembatan. Kemarin sebenarnya sudah dimulai dari lokasi penggusuran dan masih akan di lakukan ” Ungkapnya.

Lianis mengungkapkan bahwa ada indikasi keberpihakan dari tim di lapangan yang ia temukan dimana beberapa orang yang tidak memiliki lahan justru terdaftar nama. Sehingga ini kemudian yang menyebabkan terjadinya polemik.

” Saya melihat ini ada keperpihakan, seperti tadi, ada beberapa orang yang tidak memiliki lahan tapi namanya ada dalam daftar, kan kasian masyarakat yang punya lahan ketika ada nama lain masuk” Beber Lianis.

Atas keterangan Kades Lianis ini kemudian menjadi pertanyaan Masyarakat Desa Tawarotebota karena kata mereka selalu pemilik hak pengelolaan lahan, tidak mendapatkan informasi dari tim terpadu dan satgas BWS. Warga menuding ada upaya permainan dalam hal ini, mulai dari sosialisasi yang terkesan penuh tekanan, bahkan kata mereka, informasi tentang jadwal pengukuran itu memang mereka dengar tetapi hingga Ahad (hari ini red) sudah masuk hari ketiga dari tujuh hari yang di jadwalkan, mereka mengaku tidak pernah ada koordinasi dari tim terpadu dan satgas kepada mereka warga Desa Tawarotebota, Bahkan kata mereka, beragam informasi tentang klaim lahan dari warga desa lain yang tidak memiliki dasar menyebabkan mereka tiap hari berpatroli di wilayah hak mereka, bahkan para ibu ibu ikut turun. Informasi yang di peroleh, mereka membuat posko dan bermalam di lahan mereka yang cukup jauh tanpa ada jaringan.

” Ini aneh, kenapa ada pengukuran tanpa ada koordinasi ke kami selaku pemilik pengelolaan lahan. Harusnya pak desa yang menyampaikan sebelumnya ke kami karena beliau yang mengetahui bahwa sudah dua hari dilakukan pengukuran tapi ini tidak ada koordinasi ke kami. Begitu juga pihak satgas dan tim terpadu harusnya lebih terbuka dan proaktif memberikan informasi dan kordinasi ke pada kami karena warga desa Tawarotebota lebih luas lahannya yang terdampak genangan. Informasi tentang pengukuran ini baru kami tau dari media ini kalau ternyata ada pengukuran tanpa sepengetahuan kami” Pungkas Roby dengan nada heran yang turut di benarkan warga lainnya.

Baca Juga :   Adnan Sebut Penanda Pita Merah Tidak Masuk Genangan, HK Menolak Diklarifikasi

Warga juga mempertanyakan, jika benar sudah ada pengukuran lalu siapa yang tandatangan selaku pengelola lahan tersebut, sementara warga desa Tawarotebota yang menurut Kepala Desa Lianis sudah mulai ada pengukuran sementara pihak warga tidak mengetahui hal tersebut.

” Kami sudah tiga hari berjaga dari pagi hingga sore di titik titik lokasi terdampak karena memang jadwal yang santer terdengar, termasuk yang di lokasi yang pak desa sebut sudah ada pengukuran, tetapi kami tidak melihat ada pengukuran ataukah memang tim melakukan pengukuran pada lokasi yang tidak pada pita yang terpasang?. Intinya sudah di ukur atau belum, semua harus jelas sesuai aturan kepemilikan pengelolaan lahan. ?. ” Pungkas Warga.

Warga kemudian menduga jika memang ada pengukuran yang di lakukan, boleh jadi hanya memasang satu titik koordinat lalu dilakukan dokumentasi kemudian diklaim sudah dilaksanakan dan selesai di atas meja. ” Apapun yang terjadi, kami berharap tidak ada yang bermain tentang regulasi karena jika terbukti ada yang tanda tangan pengukuran selain pengelola lahan, maka akan berdampak pidana” Tegas Warga.

Informasi yang di himpun bahwa polemik ini kuat dugaan karena ada satu desa memiliki hubungan darah dengan salah satu pegawai BWS yang itu pula menjadi dugaan kuat kesepakatan penempatan posko di kantor camat tiba tiba berubah pada hari H, dan sekitar dua jam kemudian posko tim terpadu /satgas berpindah di salah satu desa yang  menurut informasi desa yang paling kecil lokasinya terdampak.

Sebelumnya Kuasa Hukum warga desa Tawarotebota telah melakukan somasi kepada Bupati Konawe terkait peraturan bupati nomor 70 Tahun 2021 tentang batas Desa Tamesandi, Kecamatan Uepai, Konawe yang terdampak program proyek pembangunan bendungan Ameroro. Dimana Perbub tersebut bertentangan dengan peraturan kementerian dalam negeri, keputusan gubernur Nomor 649 Tahun 2019 dan hasil rekomendasi DPRD kabupaten Konawe Nomor 170/177/2022 tentang penetapan batas wilayah administratif Desa berdasarkan Peta Badan Informasi Geospasial (BIG). Hal tersebut di lakukan DPRD Konawe karena perbub tersebut dinilai telah mengakibatkan terjadinya polemik di masyarakat Konawe terkhusus Desa Tawarotebota dengan Desa Tamesandi.

” Kita sudah somasi Bupati Konawe dengan tembusan kepada menteri dalam negeri, Menteri PUPR, Gubernur Sulawesi Tenggara, Kapolda Sultra, dan Polres Konawe. Jadi kami sedang melihat apakah semua pihak akan tutup mata dalam polemik ini atau menjalankan amanah lembaga negara kepadanya, atau karena sebuah kekuasaan menjadikan rakyat hanyalah bagian obyek dan menyaksikan akrobat kekuasaan?” Kata Herdi Jaya Ibrahim selaku kuasa Hukum Warga.

Senada dengan Hasa Jaya, SH yang juga kuasa hukum warga menegaskan.
” jika rekomendasi DPRD Konawe dan rekomendasi pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara serta peraturan kementerian dalam negeri yang bertentangan dengan perbub yang dikeluarkan Bupati Konawe, lalu kemudian tetap dilaksanakan oleh tim terpadu /satgas, maka itu merupakan pelanggan hukum dan siapa pun yang bertanda tangan menerima ganti rugi tanpa ada dasar kepemilikan pengelolaan lahan, maka jelas merupakan bagian dari upaya perbuatan melawan hukum secara berjamaah” Tegas Hasan Jaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *